Jumat, 13 Juni 2014

[Fan Fiction] You and Me: Fate


You and Me: Fate
Wafda S. Dzahabiyya

“Dari mana dia belajar kata-kata itu?” tanya Jackson sambil berbisik, entah kepada siapa. Matanya masih tak lepas dari sosok Bambam dan Suji yang tengah menikmati “kencan” mereka.

“Siapa lagi kalau bukan dari kau, hyung!” komentar Youngjae yang langsung mendapat lirikan tak terima dari Jackson.

“Tidak bisakah kalian diam? PD-nim bisa memarahi kita.” Mark mengalihkan pandangannya pada PD dan staff lainnya untuk memastikan keberadaan mereka di sana tidak mengganggu jalannya shooting terakhir hari itu.

“Aku bisa lebih baik dari itu,” kata Yugyeom tiba-tiba, membuatnya semuanya kembali memperhatikan Bambam dan Suji.

“Eii, kau pasti akan lebih awkward dari itu,” ejek Jackson. “Sudah kuduga seharusnya dia memilihku.”

“Kalian harusnya tahu siapa yang bisa melakukannya lebih baik diantara kita semua.” Hening sejenak, sepertinya semua menunggu seseorang berbicara. “Loh, tidak ada yang mengaku?” lanjut Mark akhirnya.

“Karena dia tidak ada di sini,” kata Jaebum buka suara. Sebenarnya dia sudah sadar sedari tadi bahwa salah satu member-nya menghilang. Jaebum tak tahu dia kemana, tapi ia tahu pasti alasannya.

“Tidak baik mengintip kencan seseorang.” Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. Jinyoung, sang pemilik suara, berdiri tak jauh dari sana, tertawa pelan melihat reaksi kawan-kawannya itu.

Hyung, kau harus lihat ini.” Yugyeom melirik sekilas kearah Bambam dan Suji sebelum menambahkan, “Mereka sangat awkward.”

“Dan itu bukan kencan!” protes Jackson tak terima.

Jinyoung kembali tertawa sambil melanjutkan langkahnya menuju tumpukan tas di pojok ruangan. Ia tampaknya tak tertarik sama sekali dengan kencan kecil yang didapatkan maknae kedua mereka itu.

“Kau baik-baik saja?” tanya Jaebum yang diam-diam mengikuti Jinyoung.

“Aku hanya dari toilet hyung, tak usah khawatir.” Jinyoung tersenyum sekilas pada Jaebum sebelum duduk bersila dan meraih tasnya. Jinyoung tahu betul maksud pertanyaan Jaebum, dan ia tahu jawabannya tadi tidak membuat leader-nya itu puas.

Jinyoung menghela nafas, mendongak kearah Jaebum yang berdiri di hadapannya, memandanginya sejak tadi. “Aku baik-baik saja hyung, sungguh. Kenapa aku harus tidak baik-baik saja?” tambah Jinyoung, lebih seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Kerja bagus.” Jinyoung mengernyit, menatap Jaebum tak mengerti.

“Kau melakukan kerja bagus hari ini,” lanjut Jaebum dengan senyum penuh pengertian.

“Kau bercanda hyung? Kerjaku memang selalu bagus.” Jinyoung tertawa melihat Jaebum yang mendengus mendengar komentarnya.

“Terserah kau sajalah,” kata Jaebum sambil berlalu dari hadapan Jinyoung. Percuma dia sudah khawatir pada pria yang lebih muda beberapa bulan darinya itu.

Tawa Jinyoung perlahan menghilang, berganti dengan senyum tipis saat melihat Jaebum pergi menghampiri member lain yang tengah menggoda Bambam. Tampaknya shooting telah selesai.

Jinyoung mengalihkan perhatian pada tas dipangkuannya, berusaha mencari handphone miliknya. Dahinya mengernyit melihat satu pesan singkat di layar smartphone-nya itu. Pesan yang benar-benar singkat. ‘Keluar.’

Pemuda itu mengangkat kepalanya, memperhatikan sekeliling dan berusaha mencari sang pengirim pesan. Saat tidak menemukan tanda-tanda keberadaannya, Jinyoung pun menghela nafas dan berdiri, memutuskan untuk menuruti perintah pesan tersebut.

Baru saja kakinya melangkah keluar dari café yang dijadikan tempat shooting hari itu, pesan lain masuk ke handphone-nya. ‘Arah jam 10.’

Jinyoung memperhatikan arah yang dimaksud, namun di seberang jalan yang membelah taman café itu hanya ada rimbunan semak dan pohon. Jinyoung pikir, tak mungkin orang yang mengiriminya pesan benar-benar ada di sana kan? Tapi toh kakinya tetap bergerak membawanya ketempat yang dimaksud.

Dan orang itu ada disana. Gadis itu benar-benar ada disana, di kegelapan malam yang hanya dihiasi temaram lampu taman, bersandar dibalik pohon. Pandangannya lurus menatap langit malam, seolah tak peduli pada keberadaan pemuda yang telah dipanggilnya ketempat itu.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Jinyoung memecah keheningan.

“Menunggumu,” jawab gadis itu singkat. Matanya belum mau beralih membalas Jinyoung yang sedari tadi menatapnya.

“Semua orang akan mencarimu.” Gadis itu tetap diam. Sejumput rambut panjangnya sesekali berkibar lembut tertiup angin. Meskipun dengan cahaya seadanya, Jinyoung bisa merasakan kecantikan gadis itu. Kecantikan alami yang sering kali membuatnya sesak.

“Untuk apa kau memanggilku kemari, ketempat gelap dan dingin ini? Jika ada staff yang melihat kita, mereka pasti akan salah paham. Kau tahu kita–”

“Aku tak peduli,” potong gadis itu cepat.

“Suji-ya….” Gadis itu akhirnya menoleh, menatap langsung pada bola mata hitam pemuda di sampingnya seolah menantang.

Jinyoung mengalihkan pandangannya, berpaling melihat apa pun selain gadis itu. Ia tak mau tenggelam dan larut dalam tatapannya yang menghanyutkan. “Sebaiknya kau masuk sekarang. Semua pasti sudah mulai mencarimu.” 

Jinyoung kembali menoleh kearah Suji ketika gadis itu tidak memberikan respon apa pun padanya. “Kau tidak mau?” tanya Jinyoung tidak memperdulikan Suji yang masih menatapnya, seolah menuntut sesuatu dari pemuda itu. “Baiklah, aku yang akan masuk duluan.”

Baru saja Jinyoung berbalik ia sudah merasakan sepasang lengan mencengkram bajunya, menahannya untuk pergi.

“Tidak adakah yang ingin kau tanyakan padaku?” tanya Suji akhirnya.

“Tidak,” jawab Jinyoung singkat tanpa menoleh.

’Kenapa kau tidak memilihku? Kenapa kau memilih Bambam?’ Kenapa kau tidak tanyakan itu padaku?” Jinyoung mendengus dan terkekeh pelan mendengar pertanyaan Suji. 

“Untuk apa aku bartanya? Aku sudah tahu jawabannya.” Saat tidak mendengar tanggapan dari balik punggungnya, Jinyoung pun melanjutkan, “Awalnya aku pikir kau akan memilih Youngjae, tapi begitu melihat jalannya shooting hari ini aku tahu kau akan memilih Bambam. Dan ternyata benar kan? Aku memang selalu bisa menebakmu.”

“Apa kau juga tahu kalau sejujurnya aku ingin memilihmu?”

“Suji-ya, ini hanya–“ 

Kata-kata Jinyoung terputus saat ia merasakan kepala gadis itu bersandar dipunggungnya. Lengannya masih memegang baju Jinyoung erat. 

“Apa kau tahu betapa aku berusaha keras mengatur ekspresiku saat kau menari untukku? Apa kau tahu betapa aku senang saat tahu kaulah yang berhasil mendapatkan bunga itu? Apa kau tahu betapa aku benar-benar berharap kau berhasil menyelesaikan game itu dalam waktu 10 detik? Apa kau tahu betapa aku ingin kau menjawab pertanyaan itu dengan cepat karena aku tak tega melihatmu dipukul? Apa kau tahu betapa gembiranya aku saat tahu kau memperhatikanku, hafal semua foto-fotoku? Apa kau tahu betapa beratnya aku menjalani shooting hari ini dan bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa diantara kita?”

“Bukankah memang tidak pernah ada apa-apa diantara kita?” Jinyoung balik bertanya, memotong semua rentetan pertanyaan panjang Suji.

Jinyoung merasakan pegangan Suji dibajunya terlepas. Pemuda itu berbalik, menatap gadis yang sekarang tertunduk dihadapannya. Tangan Jinyoung terulur, menyentuh pipi Suji dan membuat gadis itu menatap ke arahnya. Dadanya terasa sesak saat melihat sepasang bola mata kelam dihadapannya berkaca-kaca, jejak air mata bahkan sudah tergambar di pipinya. Jinyoung menggigit bibir bawahnya dan berusaha keras menahan perasaan. Matanya sendiri mulai terasa panas.

“Aku tahu,” kata pemuda itu akhirnya. “Aku tahu karena memang aku berusaha keras membuat koreografi itu agar kau terkesan. Aku juga sejak awal bertekad untuk mendapatkan bunga itu agar setidaknya aku bisa menang disalah satu game. Karena aku tahu aku tak akan bisa menjadi pemenang akhirnya.”

 Jemari Jinyoung mengelus lembut pipi Suji, menghapus air mata gadis itu. “Kau tahu kita tak bisa. Semua yang kita rasakan hari ini mungkin hanya karena kita terbawa suasana.”

Suji mengangkat tangannya, meraih tangan Jinyoung dan melepaskan sentuhan pemuda itu dari wajahnya. “Kau benar,” katanya sambil memalingkan wajah. “Mungkin aku memang hanya terbawa suasana.”

“Hey,” seru Jinyoung pelan seraya menggoyangkan tangan Suji yang ada dalam genggamannya. “Bukankah kau percaya akan takdir?”

Pertanyaan Jinyoung membuat Suji menoleh dan mendapati pemuda itu tersenyum kearahnya. Melihat senyum itu mau tak mau bibirnya pun ikut mengulas senyum tipis. 

“Ya, aku percaya.”

***

Also posted on asianfanfics in english.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar